Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka mentauhidkan diri-Ku.” Orang beriman mentauhidkan Allah pada saat sempit maupun lapang. Adapun orang kafir hanya mentauhidkan Allah pada keadaan terjepit dan tertimpa kesusahan (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1236)
Imam al-Baghawi rahimahullah menceritakan, bahwa Ikrimah berkata, “Adalah orang-orang jahiliyah tatkala itu apabila berlayar di lautan maka mereka pun membawa serta berhala-berhala mereka. Pada saat angin bertiup semakin keras [terjadi badai] maka mereka pun melemparkan berhala-berhala itu ke laut lalu berdoa, “Wahai Rabb, wahai Rabb.” [selamatkanlah kami].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1001)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu supaya beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak dinamakan sholat tanpa thaharah/bersuci. Apabila syirik mencampuri ibadah niscaya ibadah itu akan rusak (tidak sah) sebagaimana halnya apabila hadats masuk kepada thaharah.” (lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 199)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),“Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang dahulu telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “segala sesuatu yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang diberikan Allah kepadanya al-Kitab, hukum dan kenabian lantas berkata kepada manusia: Jadilah kalian sebagai pemuja diriku sebagai tandingan untuk Allah. Akan tetapi jadilah kalian rabbani dengan sebab apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan apa yang kalian pelajari. Dan tidaklah dia memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan. Apakah dia hendak memerintahkan kalian kafir setelah kalian memeluk Islam?” (QS. Ali ‘Imran: 79-80)
Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)
Disebutkan dalam riwayat, bahwasanya suatu ketika orang-orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka berkata, “Apakah kamu wahai Muhammad ingin untuk kami jadikan sebagai rabb/sesembahan?” Maka Allah pun menurunkan ayat di atas sebagai tanggapan untuk mereka (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [5/187] oleh Imam al-Qurthubi)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman (yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia tidak memerintahkan kalian untuk beribadah kepada siapapun selain Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat -dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada peribadatan kepada selain Allah maka dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25) dst.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/67])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: Ketika turun ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.”(QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Allah bertanya; Wahai Isa bin Maryam, apakah engkau berkata kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sesembahan selain Allah. Maka Isa menjawab: Maha suci Engkau, tidak layak bagiku untuk mengatakan sesuatu yang bukan menjadi hakku. Jika aku telah mengatakannya pastilah Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.” (QS. Al-Ma’idah: 116)
Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh –‘alaihis salam– telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu memiliki kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa ilaha illallah -berdasarkan perintah Kitab suci mereka, pent- akan tetapi karena ucapan mereka tidak dilandasi ilmu dan pemahaman maka ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka, sehingga mereka justru beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz radhiyallahu’anhu untuk menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama untuk diserukan kepada mereka (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 36 oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah maka dia telah menjaga dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah.” (HR. Muslim)
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi bahwa yang dimaksud oleh hadits ini [untuk diperangi] adalah para pemuja berhala, bukan ahli kitab; sebab ahli kitab -di masa itu- telah mengucapkan laa ilaha illallah…” Qadhi ‘Iyadh juga memiliki keterangan serupa bahwa yang dimaksud adalah kaum musyrikin arab, para pemuja berhala, dan orang-orang yang tidak bertauhid (lihat Syarh Muslim [2/56])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya -Abu Thalib- menjelang kematiannya, “Ucapkanlah laa ilaha illallah; yang dengan kalimat itu aku akan bersaksi untuk menyelamatkanmu pada hari kiamat.” Akan tetapi pamannya itu enggan. Maka Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang kamu cintai, dst.” (QS. Al-Qashash: 56) (HR. Muslim)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan siksaannya, ‘Seandainya kamu memiliki kekayaan seluruh isi bumi ini apakah kamu mau menebus siksa dengannya?’. Dia menjawab, ‘Iya.’ Allah berfirman, ‘Sungguh Aku telah meminta kepadamu sesuatu yang lebih ringan daripada hal itu tatkala kamu masih berada di tulang sulbi Adam yaitu agar kamu tidak mempersekutukan-Ku, akan tetapi kamu tidak mau patuh (enggan) dan justru memilih untuk berbuat syirik.’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah lalu meninggal dalam keadaan musyrik maka dia termasuk penghuni neraka secara pasti. Sebagaimana barangsiapa yang beriman kepada Allah (baca: bertauhid) dan meninggal dalam keadaan beriman (baca: tidak melakukan pembatal keislaman) maka dia termasuk penghuni surga, walaupun dia harus disiksa -terlebih dulu- di dalam neraka.” (lihat al-Kaba’ir cet. Dar al-‘Aqidah, hal. 11)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)